

sumber : me and confucius.
Sebatang tebu terbaring pasrah.Dia tahu, umurnya tak lagi lama. Dia mengerti, sebentar lagi waktunya akan tiba. Siap menghadapi penghakiman terakhir di mesin giling, guna menghasilkan air tebu yang sering diminum manusia sebagai es tebu atau jus tebu. Dia tahu dirinya memiliki rasa manis yang sering dicari oleh manusia yang dahaga.
Dirinya mulai gelisah, ketika satu per satu temannya diambil dari kelompoknya. Secara paksa. Karena dari mereka sebetulnya tak ada yang rela. Diperas habis, kemudian tinggal sepahnya. Seolah tak lagi berguna. Seolah hidup sia-sia. Hanya menyisakan segelas air tebu. Sekali teguk habislah sudah.
Namun, Si Tebu lupa… Semasa hidup dia miliki manisnya dirinya. Sebelum usai hidupnya, dia persembahkan manisnya itu bagi manusia untuk dinikmati. Untuk ikut mencicipi kemanisan miliknya. Sehingga dia tidak lagi serakah, simpan rasa hanya untuk diri sendiri saja.
Si Tebu akhirnya menyadari bahwa prinsip berbagi itulah yang terpenting. Bukan lagi berapa lama dia hidup. Melainkan semasa hidup, mampukah ia memberi arti? Semasa hidup mampukah ia meninggalkan kesan mendalam di hati? Semasa hidup, masihkah dia terus berkarya dan memberi?
Ketika tangan penjual tebu tiba untuk mengambil dirinya … Tebu tersenyum. Manis kali. lebih manis dari rasa yang dia berikan kepada yang meminumnya. Karena dia sadar, hidupnya sudah berarti. Setidaknya dia sudah bagikan kepada seseorang atau dua orang. Tak mengapa. Yang penting dia hidup bahagia dan tidak mati sia-sia. Berbagi, memberi, berkarya terus sampai akhir hidupnya, jadikan dirinya tersenyum bahagia. Tak ada yang lebih bahagia selain memberikan diri bagi dunia. Walaupun dunia itu baginya hanya satu atau dua orang saja. Walaupun dunia itu baginya hanya sekitarnya saja. Tak ada sesal, lakukan yang terbaik sampai akhir hidupnya.
Kalaupun sekarang engkau tengah merasa lelah … Energi terkuras, letih fisik dan mental luar biasa. Ingatlah untuk tetap terus berkarya bagi sesama. Beristirahatlah sejenak, lakukan apa yang dianggap perlu untuk rileks dan kembali berkarya sesuai apa yang sudah dipercayakan-Nya.
Sehingga, walaupun hidup ini singkat, tak perlu kuatir … Karena yang terpenting adalah seberapa banyak yang sudah kita lakukan semasa hidup bagi sesama, bagi dunia? Atau dalam lingkungan yang lebih kecil: bagi keluarga dan teman-teman kita? Bagi orang lain?
Hidup akan jauh lebih berarti bila kita memberikan bagian dari diri yang terbaik demi kebaikan. Memberikan yang terbaik bagi diri bagi kemanusiaan. Memberi yang terbaik dengan keluar dari diri sendiri dan membantu orang lain yang berkekurangan.
Si Tebu mengajarkan saya sesuatu... Apakah Si Tebu juga mengajarkanmu sesuatu?
Sumber :
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya selalu kerap muncul tanpa kita sadari.
Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Panca indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.
Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan. Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.
Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetap makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong. Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita harus lihat adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri. Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?
· Berbagi kebahagiaan dengan orang lain
· Menganalisa memori-memori yang menyenangkan
· Pujilah diri Anda sendiri
· Fokuslah pada sensasi yang menyenangkan
· Selalu berpikir positif dan berpikir bahwa Anda bisa melakukan hal dengan lebih baik
· Lakukan aktivitas yang Anda sukai
· Berpura-puralah bahagia meski sebenarnya Anda sedang tidak dalam suasana bahagia
· Rayakan momen besar dalam hidup Anda
· Jauhkan pikiran suram, ketakutan dan keraguan
· Katakan 'terima kasih' sesering mungkin
Kehidupan ini adalah suatu anugerah yang kita dapatkan dari TIAN. Kehidupan ini adalah suatu misteri tetapi hidup ini pun suatu perjuangan, penuh dengan harapan, cita-cita dan keinginan serta begitu banyak rintangan dan halangan yang datang setiap saat.
Di dalam kehidupan ini kita pasti memiliki suatu cita-cita yang akan kita capai saat nanti. Dan cita-cita tersebut harus mampu kita capai dengan usaha kita sendiri dengan usaha yang kita miliki.
Apa yang harus kita lakukan ??? persiapkan semuanya dari awal. Jangan kita menganggap semuanya itu seperti membalikkan telapak tangan.
Saya pernah membaca suatu buku dan di dalam buku tersebut ada sebuah cerita tentang seorang kakak dan adik. Judul cerita nya adalah “KEHIDUPAN SEPERTI NAIK TANGGA”.
Setiap anak tangga yang kita pijak kita ibaratkan itu sebagai suatu harapan dan usaha yang akan kita lakukan..
KEHIDUPAN SEPERTI NAIK TANGGA
Ketika mereka sampai di apartemen, ternyata listrik padam. Mereka berdua memutuskan untuk naik tangga menuju tempat tinggal mereka yang berada di lantai 50. setelah menaikki tangga sampai lantai 20, mereka mulai kelelahan. Si kakak berkata, “Tas dan ransel ini begitu berat, mari kita titipkan ke satpam. Kita akan ambil kembali setelah listrik hidup kembali.”
Setelah menitipkan tas, mereka pun melanjutkan naik tangga. Sampai di tingkat 30, mereka saling mengomel dan ribut. Hal ini terus berlanjut sampai lantai 40. lalu mereka beristirahat sebentar, dan bersepakat untuk tidak ribut lagi yang hanya akan menghabiskan energi mereka. Setelah itu mereka melanjutkan naik anak tangga lagi, dan akhirnya sampailah mereka di lantai 50.
Sesampainya di depan pintu, si kakak meminta adiknya segera membuka pintu agar bisa masuk ke dalam dan segera istirahat. Merasa tidak pernah memegang kunci, adiknya berakata “Bukankah kuncinya ada di tempatmu?” kakaknya baru menyadari bahwa kunci pintu itu ia simpan di dalam ransel yang dititipkan di lantai 20.
Apa pesan yang kita dapatkan dari cerita tersebut :
cerita tersebut mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan ini terutama selagi berusia muda atau 20 tahunan kita harus mampu mempersiapkan segalanya dengan baik, bekerja dengan cerdas dan cermat, tidak menyia-nyiakan waktu, agar saat kita memasuki usia tua kita tidak menyesal..
Di dalam cerita diatas, kalau saja mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkan, seperti kunci dan makanan, mereka bisa beristirahat dan bersantai sesudah berjuang keras. Kini, karena kelalaian tersebut, mereka terpaksa menginap di luar apartemen mereka. Untuk turun kembali ke lantai 20 dan naik lagi ke lantai 50 tidaklah mungkin, kondisi mereka sudah terlalu lelah. Demikian juga dengan kita, setelah berumur tua kita tidak mungkin lagi mengerjakan apa-apa yang belum kita kerjakan saat muda.
Banyak orang yang setelah tua baru bisa menghargai kehidupannya. Mereka baru menyadari dan menyesal karena selagi muda mereka tidak mau belajar, tidak mau memanfaatkan segala kesempatan yang ada, tetapi justru hanya menyia-nyiakan sehingga waktu terlewat begitu saja. Mereka terlanjur tidak mempersiapkan segala-galanya untuk masa tua. Namun apa yang disesali nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah terlambat.
Contoh lain :
saat kita menuntut ilmu selama kita mengenyam pendidikan dan juga terus belajar untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan. karena"pendidikan boleh berakhir tetapi, belajar harus dilakukan sampai akhir hayat" kata-kata itu menunjukkan selagi kita masih muda dan diberi kesehatan dan kemampuan lakukan hal untuk mendapatkan sebuah ilmu yang berguna untuk masa depan kita nanti. manfaat kan waktu dengan sebaik-baiknya jangan hanya mengucapkan nanti, nanti dan nanti.. karena hidup ini penuh dengan misteri. kita tidak akan yang tw apa yang akan terjadi saat ini, esok dan lusa. kita hanya menjalani kehidupan ini dengan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
"hidup itu adalah pilihan, perjuangan, masalah, pembelajaran &
seperti sebuah sabda nabi khongcu :
Nabi bersabda, “Bila orang tidak mau berfikir tentang kemungkinan yang masih jauh, kesusahan itu tentu sudah berada di dekatnya”.
Kesimpulan :
Persiapkanlah segala sesuatu dari sekarang, Manfaatkanlah waktu untuk menuntut ilmu dan jangan
menyia-nyiakan waktu.
Pendidikan sebagai unsur penting bagi dunia dewasa ini, tak dapat dikesampingkan lagi perannya dengan dan untuk alasan apapun.. Empat pilar ini dipandang paling ideal guna mewujudkan pendidikan yang ideal bagi kemanusiaan. Ke-empat pilar itu adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Dengan pilar ini UNESCO hendak menekankan agar anak-anak memperoleh pengetahuan yang benar sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.
Kǒngzǐ pun berpandangan bahwa hakekat manusia adalah baik. Ia juga menekankan bahwa salah satu alasan utama orang menjadi tidak baik adalah karena ketidaktahuan. Maka bertentangan dengan Daoisme yang berpandangan bahwa pengetahuan merusak kemanusiaan yang baik,
Kǒngzǐ justru mengajarkan agar orang terus belajar dan mencari pengetahuan seluas-luasnya. Konsep Kǒngzǐ ini diterapkan secara luas dengan memberi tempat yang kuat bagi seni, puisi, sastra, dan bahkan tradisi demi mengimbangi ajaran filsafatnya. Seni menjadi sarana hiburan batiniah yang sekaligus menyeimbangkan keutuhan manusia. Atau dengan kata lain pengetahuan yang dipikirkan Kǒngzǐ memang tidak hanya sebatas ilmu rasional tetapi juga meluas pada pengetahuan yang mengolah rasa, jiwa, dan spiritual manusia.
Dengan demikian learning to know adalah proses mencari pengetahuan seluas mungkin dengan sasaran keutuhan manusia dalam akal budi, hati nurani, dan spiritual. Hal ini mirip dengan paham antropologi modern yaitu pneuma, psyche, dan sama.
Pengetahuan yang luas harus diterapkan untuk bisa dijadikan sebuah tindakan dan karya yang baik. Sejalan dengan itu, Kǒngzǐ pun telah menekankan bahwa orang harus berbuat atau berkarya. Bertolak belakang lagi dengan Daoisme yang mengajarkan agar “tidak melakukan apa pun”, Kǒngzǐ mengajarkan (berbicara tentang moral) “berbuat tanpa pamrih”. Kǒngzǐ sering mengaitkan ini dengan konsep Ming (sering diterjemahkan sebagai takdir, nasib) yaitu orang harus tetap berusaha untuk berbuat dan berkarya yang baik tanpa pamrih karena nilai luhur dari tindakan bukanlah terletak pada hasil melainkan pada proses di mana orang melaksanakan sesuatu tanpa menghiraukan apakah secara lahiriah perbuatan itu berhasil atau gagal. Kǒngzǐ berkata “Manusia bijaksana bebas dari keragu-raguan; manusia berbudi luhur bebas dari perasaan cemas; manusia yang berani bebas dari ketakutan”. Ucapan ini berarti orang akan bahagia jika bebas dari kecemasan apakah akan berhasil dan bebas dari ketakutan akan gagal. Jadi, tindakan dan berkarya adalah sebuah kewajiban manusia di mana nilai dari tindakan itu bukanlah lahiriah berhasil atau gagal melainkan pada keteguhan untuk selalu berusaha melakukannya dengan baik.
Dalam ajaran Kǒngzǐ, learning to be sepadan dengan teori tenggang rasa (Chung) dan altruisme (Shu) atau Tiong Si. Teori tenggang rasa (Chung) dijelaskan dengan perkataan, “Apa yang diri sendiri tiada inginkan janglah diberikan kepada orang lain "”.
Teori altruisme (Shu) yaitu “Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu”. Maka jelaslah bahwa Kǒngzǐ pun telah memiliki kesadaran pentingnya merasa “menjadi” terhadap orang lain.
Hal ini menunjukkan olah rasa yang diasah yaitu menjadi mengerti akan orang lain seperti diri sendiri, menjadikan diri sebagai tolak ukur refleksi moral. Selain itu juga ada ajaran pembetulan nama yaitu orang hidup sesuai dengan nama (jabatan, peran sosial). “Hendaknya penguasa menjadi seorang penguasa, menteri menjadi menteri, ayah menjadi seorang ayah, dan anak menjadi seorang anak”. Maka orang perlu menghidupi atau menjadi sesuai “nama”-nya.
“Rasa kemanusiaan terkandung dalam sikap mengasihi terhadap manusia yang lain”.
Manusia yang benar-benar mengasihi orang lain adalah manusia yang dapat melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat.
Oleh karena itu, di era modern ini tampak nyata bahwa pemikiran Kǒngzǐ masih relevan untuk dapat diterapkan. Sekalipun pandangan UNESCO tetang keempat pilar pendidikan yang ideal tidak murni bertolak dari paham ajaran Konfusianisme tetapi inti yang hendak disampaikan mengakar pada suatu prinsip yang sama yaitu humanisme yang merupakan takaran ukuran kemanusiaan yang integral dalam keseluruhan aspek ontologis manusia.
Kita tidak bisa memilih lahir di zaman apa, lahir di masyarakat seperti apa, namun yang jelas kita bisa memilih nilai, pandangan atau ajaran seperti apa, pembelajaran, tujuan atau target seperti apa yang akan kita pilih. Selanjutnya membangun konsep hidup yang positif, berjuang tanpa mengenal kalah, from zero to hero , dari seorang yang biasa menjadi seorang yang Luar Biasa itulah proses belajar.
Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran.
"hidup itu adalah pilihan, perjuangan, masalah, pembelajaran & ...
Belajar bukan sekedar belajar, belajar untuk belajar....
dimana suatu proses yg tidak ada batas hentinya sampai tutup usia barulah b'akhir..."
Apa yang saya dengar, saya tahu
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya paham