Selasa, 12 Januari 2010

8 X 3


Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik.
Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain
sedang dikerumuni banyak orang.
Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: “3 X 8 = 23, kenapa kamu bilang 24?”

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: “Sobat, 3 X 8 = 24, tidak usah
diperdebatkan lagi.”

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa
minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius.
Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan.”

Yan Hui: “Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?”

Pembeli kain: “Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong
untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?”

Yan Hui: “Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu.”

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah
Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil
tertawa: “3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia.”

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya.
Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia
berikan kepada pembeli kain.
Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.

Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar
darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga.
Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.
Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali
setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat : “Bila hujan
lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh.”

Yan Hui menjawab, “Baiklah,” lalu berangkat pulang.

Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya
sudah mau turun hujan lebat.
Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat
Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi.
Dia meninggalkan pohon itu.
Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur.
Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti.
Apakah saya akan membunuh orang?
Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu
tidur istrinya.
Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya.
Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri
ranjang dan seorang lagi di sisi kanan.
Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya.
Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius,
jangan membunuh.
Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah
adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata:
“Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?”

Confucius berkata: “Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun
hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah
pohon.
Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru
mengingatkanmu agar jangan membunuh”.

Yan Hui berkata: “Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum.”

Jawab Confucius : “Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga.

Kamu tidak ingin belajar lagi dariku.
Cobalah kamu pikir.
Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan
jabatanmu.
Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah
dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.
Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih
penting?”

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : “Guru mementingkan yang lebih
utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu.”

Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.


Cerita ini mengingatkan kita:
Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan
kamu, apalah artinya.
Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah
kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.
Banyak hal ada kadar kepentingannya.
Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi
akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.
Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

ASAL USUL SUMPIT

Sumpit diciptakan bangsa Tiongkok dan sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sumpit telah digunakan jauh sebelum penggunaan sendok dan garpu di Eropa (pisau ditemukan terlebih dahulu, namun lebih sebagai senjata, baru kemudian dibentuk khusus sebagai alat makan). Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC). Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin.

Sumpit lebih mencerminkan keanggunan dan belas kasih, sebagai ajaran moral utama dari Konghucu. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karenanya, alat yang dapat melukai orang tidak boleh ada diatas meja makan, itulah mengapa masakan Tiongkok (chinese food) biasanya sudah dipotong-potong ukuran kecil sebelum dimasak, agar tidak perlu lagi ada pisau dan garpu diatas meja makan.

Bagi orang Tionghoa yang terbiasa menggunakan sumpit sejak kecil untuk mengambil nasi dan lauk, tentu dapat menikmati makan menggunakan sumpit. Namun bagi orang barat yang tidak terbiasa, mereka akan kesulitan, terutama dalam menjumput nasi dari mangkok untuk dimasukkan kedalam mulut. Sebaiknya dalam menjamu mereka dengan Chinese Food yang memakai sumpit, beri mereka kesempatan untuk belajar menggunakan sumpit dengan memberikan contoh. Bila mereka tetap merasa tidak nyaman, pesankan juga sendok dan garpu.

Ada juga kepercayaan tradisional setempat mengenai sumpit. Bila kita menemukan sepasang sumpit yang ganjil (tidak sama tingginya) di meja makan, pertanda kita akan kehilangan harta. Menjatuhkan sumpit pertanda nasib buruk. Mencapkan sumpit tegak lurus diatas makanan yang akan dimakan tidak boleh, karena itu adalah penyajian makanan untuk orang mati (biasanya saat sembahyang Ceng Beng). Di restoran dimsum, bila selesai makan, sumpit boleh diletakkan bersilang di mangkok sebagai pertanda bagi pelayan bahwa Anda sudah selesai makan dan minta bon diantar.

Jalan untuk Menjadi Seseorang

Konfusius, bernama Qiu dan juga di panggil Zhong Ni, adalah seorang warga dari kerajaan Lu (yang sekarang daerah Qufu propinsi Shandong). Ia adalah seorang guru besar negarawan, dan seorang pemikir. Ia mengajarkan pemerintahan yang menjunjung moralitas dan bermanfaat, aspiasirasinya tidak luntur meskipun harus melalui banyak kesengsaraan. Dalam perjuangannya mengajarkan kebenaran dan sebuah keinginan dan karakter yang lurus, kebaikan, kesederhanaan, dan kebenaran; dan kesetiaannya pada negera dan perhatiannya pada semua masyarakat sangat menyentuh para siswanya dan generasi-generasi seterusnya. Dibawah ini ada beberapa kisah tentang bagaimana Confucius mengajarkan para siswa nya untuk menjadi orang.

Zi Gong meminta nasehat Konfusius, “Guru, bolehkah saya boleh bertanya mengapa orang-orang menganggap giok lebih bernilai di bandingkan batu mulia? Apakah karena giok lebih jarang?”

Konfusius menjawab, “Giok bernilai bukan karena lebih jarang, namun karena giok mencerminkan nilai-nilai kebaikan seseorang, seperti kebajikan, kebijaksanaan, kebenaran, kesetiaan, dan jujur, dan itu juga sesuai dengan prinsip langit dan bumi, giok sangat lembut seperti halnya sebuah kebajikan manusia, giok mempunyai bentuk yang halus walaupun ia sangat padat, seperti halnya sifat kebijaksanaan, kehati-hatiannya, seksama dan teliti menanganinya. Meskipun giok memiliki sisi dan bersudut, ia tidak tajam dan tidak akan menyakiti yang lain, seperti sifat keadilan dan kejujuran.”

“Ketika giok itu digantung, itu menandakan suatu pengekangan sifat buruk dan kebijaksanaan. Ketika terpukul, ia melepaskan sebuah suara jernih bersemangat, berupa sifat alami musik. Meskipun ia begitu indah, cacatnya juga jelas, tetapi tidak akan mengganggu sifat baiknya. Seperti halnya kesetiaan orang, tanpa praduga dan tanpa membutuhkan kerahasiaan. Warna dari giok dapat dilihat dari semua arah, seperti halnya sebuah kejujuran orang, perilakunya konsisten dengan perkataannya. Bahkan pada ruangan gelap, ia dipercaya dan tidak menipu yang lain. Giok seperti kristal, berkilau dan tembus cahaya seperti sebuah pelangi putih, seperti awan-awan putih di surga, yang menyelaraskan lapisan-lapisan langit dan sesuai dengan prinsip-prinsip surgawi. Jatidiri giok dapat terlihat dengan jernih, seperti memandang dasar sungai.

“Saat giok berada di gunung, rumput-rumput menjadi subur. Dimanapun ia berada, ia mempunyai sebuah pengaruh, seperti halnya sikap seseorang mulia yang dapat menyelaraskan banyak hal dan bermanfaat bagi semua bidang. Dimanapun orang menghargai giok, ini juga seperti orang menghargai dan memuji kebaikan orang teladan. Kebaikan-kebaikan mulia adalah manipestasi dari prinsip-prinsip surgawi.”

Pada kesempatan lain, Zi Lu kembali menanyakan Konfusius, “Guru, apakah seorang yang baik juga mempunyai kecemasan?” Konfusius menjawab, “Seorang yang baik mengkultivasi dirinya dan memahami kebaikan. Selama ia belajar, ia akan fokus pada Dao dan sering mendapat pencerahan pada beberapa prinsip tertentu di tingkat tersebut. Ia menjalankan ajaran orang suci dan memahami secara lebih mendalam pada prinsip-prinsip tersebut dan menerapkannya dengan belas kasih selama masa kehidupannya. Oleh karenanya, orang yang baik itu memahami tujuan hidup dan menikmati kebahagiaan sepanjang hidupnya. Dia tak akan memiliki pengejaran dan kepentingan pribadi dalam pikirannya. Kecemasan yang dimilikinya bukan mengenai nama, kepentingan, harta ataupun pencapaian, melainkan cemas pada dunia. Di pundak mereka ada tanggung jawab untuk sesama, manifestasi dari sifat mereka yang tidak egois dan memikirkan orang lain. Mereka yang tidak menaruh perhatian pada kultivasi moral tidaklah demikian. Saat mereka tidak mencapai pengejaran pribadi mereka, mereka cemas. Setelah mereka mencapainya, mereka cemas kehilangannya. Mereka cemas terhadap pencapaian dan kehilangan atas apapun di dunia ini, oleh karenanya, mereka hidup dalam kecemasan dan ketakutan, tidak punya hari dimana mereka dapat bahagia dan lega.

Budaya Tiongkok kuno selalu menekankan mengenai moralitas. Hanya saat orang memperhatikan moralitas, barulah mereka dapat meningkatkan tingkatan mereka. Oran baik akan mengikuti prinsip dan hukum surga, mengikuti orang-orang baik dan orang bijaksana untuk merubah diri mereka. Orang-orang akan menegakkan moralitas sepanjang waktu dan tidak tersesat di tengah masyarakat. Orang-orang dapat menerima yang lain karena kemurahan hati mereka, mereka dapat membangkitkan pemikiran yang baik hati dalam pikiran orang-orang, dan mereka mempengaruhi orang-orang di mana-mana dengan murni d
an belas kasih.

Jangan Mengutamakan Penampilan Luar, Harus Mengembangkan Nilai Moral dalam Bathin

Suatu hari salah satu pengikut Konghucu bernama Zi Lu, berpakaian keren datang mengunjungi Konghucu. Konghucu bertanya padanya, “Zhongyou (panggilan Zi Lu), apa yang kamu banggakan dengan penampilan yang begitu keren? Ketika sungai Yangtze mengalir dari hulu awalnya di Gunung Min, kekuatan arusnya hanya mampu mengapungkan 4 botol kosong. Tapi ketika ia bermuara sampai di pantai, arusnya begitu kuat sehingga mampu membalikkan perahu yang sedang menyeberanginya. Bukankah hal itu karena sungainya mempunyai air yang lebih banyak di hilir? Sekarang anda berpakaian keren dan terlihat sombong, nampaknya seperti ingin menantang orang-orang disekitar anda, jika demikian siapa yang masih dapat menunjukkan kekurangan anda?

Z
i Lu bergeges keluar dari kamar Konghucu dan kembali lagi setelah mengganti pakaian dengan yang lebih pantas, penampilannya juga terlihat lazim. Konghucu berkata: “Zhongyou, ingat bahwa orang yang berbicara banyak terdengar muluk namun tidak mengenai substansinya; orang yang suka memamerkan kecakapannya acap kali membual; orang yang memiliki intelektual dan kemampuan lalu suka menampilkannya di permukaan, dia adalah orang yang tanpa kebijakan.

Oleh karena itu, orang bijak berbicara sebatas apa yang dia tahu, itu adalah kunci pembicaraan. Jika tidak sanggup mengerjakan sesuatu maka katakanlah tidak sanggup, itu adalah tolok ukur tertinggi dari perbuatan seseorang. Jika seseorang berbicara dengan menguasai kuncinya, itu adalah kearifan. Jika perbuatan seseorang memiliki tolok ukur tertinggi, itu merupakan nilai moral kebajikan. Dengan memiliki kearifan dan nilai moral kebajikan kedua-duanya, apa lagi yang membuat anda merasa tidak puas?

Khonghucu tidak pernah segan untuk bertanya!

Konfucius atau Kongzi (baca: kongce) hidup pada zaman Chun Qiu. Beliau adalah seorang ahli pikir, politikus dan pendidik yang ternama.

Pikiran Ru adalah salah satu ajarannya yang sangat mempengaruhi sejarah Tiongkok selama 2000 tahun lebih. Oleh karena itu, orang menyebutnya sebagai orang bijak, akan tetapi Kongzi tetap rendah hati.

Kongzi selalu menganggap setiap orang pasti ada kekurangannya, hanya melalui rajin belajar baru dapat memperbaiki.

Selain itu, Kongzi tidak hanya pandai berbicara saja, perilakunya sesuai dengan perkataan-nya.

Pada suatu hari Kongzi bepergian ke Negara Lu untuk menghadiri upacara penghormatan kepada leluhur yang diselenggarakan oleh Raja.

Kongzi tak segan-segan bertanya kepada siapapun hingga hal-hal yang kecil sekalipun.

Pada saat itu di belakang Kongzi, ada orang mengejeknya sebagai orang yang kuper dan tidak pernah bergaul. Tidak mengerti tata cara upacara kerajaan sedikit pun, semua hal ditanyakan.

Mendengar komentar ini, Kongzi berkata kepada muridnya, “Sesuatu yang kita tidak mengerti, didalam situasi apapun, harus kita tanyakan sampai jelas. Ini sikap yang selalu saya pegang. Kalian juga harus mengikutinya.”

Di negeri Wei, ada seorang Tabib bernama Kongyu, dia gemar sekali belajar, rendah hati dan jujur. Dalam situasi masyarakat pada saat itu, apabila seseorang yang berkuasa atau mempunyai kedudukan meninggal, selalu diberi gelar penghargaan.

Pada saat Kongyu meninggal, raja Wei memberikan gelar Wen Gong kepada Kongyu, agar generasi muda dapat mencontoh semangat belajar dan bertanya Kongyu. Di kemudian hari, orang-orang menyebutnya Kong Wen Zhi.

Murid Kongzi yang berasal dari negara Wei, bernama Zhi Kong, tidak bisa menerima pemberian gelar yang begitu agung itu. Lalu dia bertanya kepada Kongzi, ”Guru pantaskah gelar itu diberikan kepada Kongyu? Padahal masih banyak yang lebih pintar dari Kongyu.”

Kongzi menjawab, ”Orang yang gemar belajar, tidak malu bertanya, baik kepada orang yang memiliki jabatan dan pendidikan lebih rendah. Kongyu pintar, rajin belajar dan tak malu bertanya, tentu gelar penghargaan tersebut tidaklah berlebihan untuknya.