Rabu, 27 Oktober 2010

Sebatang Tebu

Sebatang tebu terbaring pasrah.Dia tahu, umurnya tak lagi lama. Dia mengerti, sebentar lagi waktunya akan tiba. Siap menghadapi penghakiman terakhir di mesin giling, guna menghasilkan air tebu yang sering diminum manusia sebagai es tebu atau jus tebu. Dia tahu dirinya memiliki rasa manis yang sering dicari oleh manusia yang dahaga.

Dirinya mulai gelisah, ketika satu per satu temannya diambil dari kelompoknya. Secara paksa. Karena dari mereka sebetulnya tak ada yang rela. Diperas habis, kemudian tinggal sepahnya. Seolah tak lagi berguna. Seolah hidup sia-sia. Hanya menyisakan segelas air tebu. Sekali teguk habislah sudah.

Namun, Si Tebu lupa… Semasa hidup dia miliki manisnya dirinya. Sebelum usai hidupnya, dia persembahkan manisnya itu bagi manusia untuk dinikmati. Untuk ikut mencicipi kemanisan miliknya. Sehingga dia tidak lagi serakah, simpan rasa hanya untuk diri sendiri saja.

Si Tebu akhirnya menyadari bahwa prinsip berbagi itulah yang terpenting. Bukan lagi berapa lama dia hidup. Melainkan semasa hidup, mampukah ia memberi arti? Semasa hidup mampukah ia meninggalkan kesan mendalam di hati? Semasa hidup, masihkah dia terus berkarya dan memberi?

Ketika tangan penjual tebu tiba untuk mengambil dirinya … Tebu tersenyum. Manis kali. lebih manis dari rasa yang dia berikan kepada yang meminumnya. Karena dia sadar, hidupnya sudah berarti. Setidaknya dia sudah bagikan kepada seseorang atau dua orang. Tak mengapa. Yang penting dia hidup bahagia dan tidak mati sia-sia. Berbagi, memberi, berkarya terus sampai akhir hidupnya, jadikan dirinya tersenyum bahagia. Tak ada yang lebih bahagia selain memberikan diri bagi dunia. Walaupun dunia itu baginya hanya satu atau dua orang saja. Walaupun dunia itu baginya hanya sekitarnya saja. Tak ada sesal, lakukan yang terbaik sampai akhir hidupnya.

Kalaupun sekarang engkau tengah merasa lelah … Energi terkuras, letih fisik dan mental luar biasa. Ingatlah untuk tetap terus berkarya bagi sesama. Beristirahatlah sejenak, lakukan apa yang dianggap perlu untuk rileks dan kembali berkarya sesuai apa yang sudah dipercayakan-Nya.

Sehingga, walaupun hidup ini singkat, tak perlu kuatir … Karena yang terpenting adalah seberapa banyak yang sudah kita lakukan semasa hidup bagi sesama, bagi dunia? Atau dalam lingkungan yang lebih kecil: bagi keluarga dan teman-teman kita? Bagi orang lain?

Hidup akan jauh lebih berarti bila kita memberikan bagian dari diri yang terbaik demi kebaikan. Memberikan yang terbaik bagi diri bagi kemanusiaan. Memberi yang terbaik dengan keluar dari diri sendiri dan membantu orang lain yang berkekurangan.

Si Tebu mengajarkan saya sesuatu... Apakah Si Tebu juga mengajarkanmu sesuatu?

Sumber : Ivanie St

Apa yang kita sombongkan ???

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya selalu kerap muncul tanpa kita sadari.

Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Panca indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan. Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetap makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong. Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala "tampak luar" lainnya. Yang kini kita harus lihat adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri. Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri.
Kalau begitu, apa yang kita sombongkan?